Kamis, 22 Agustus 2013

Esai Kelompok III: Kasus Pengemis



                Fenomena pengemis bukanlah hal baru di Indonesia ini. Setiap hari, setiap menit, di sudut jalanan, di persimpangan lampu lalu lintas berjejerlah para pengemis yang meminta belas kasihan kepada para pengemudi kendaraan bermotor berupa uang untuk menyambung hidup. Fenomena ini hadir akibat keterbelakangan mereka dalam bidang ekonomi. Di tengah perekonomian Indonesia yang dapat dikatakan sedang terpuruk ini, mereka tidak memiliki pilihan lain kecuali meminta-minta untuk memenuhi kehidupan sehari-hari. Ironisnya, para pengemis ini banyak hadir di kota-kota besar Indonesia yang dapat dikatakan sudah lebih maju dan memiliki masyarakat dengan pendapatan di atas rata-rata. Kehadiran pengemis di kota-kota besar pun sebenarnya dipicu oleh iming-iming bahwa hidup di kota besar akan menjamin kesuksesan seseorang. Banyak masyarakat yang umumnya dari kota kecil atau desa berbondong-bondong pergi ke kota besar untuk meningkatkan taraf hidup mereka. Faktanya, banyak dari mereka yang gagal karena kehidupan yang keras di kota besar, sehingga agar dapat bertahan hidup mereka memilih untuk menjadi pengemis.
                Sebenarnya, pemerintah Indonesia sudah menjamin kehidupan para pengemis yang dapat digolongkan ke dalam fakir miskin dalam pasal 34 ayat (1) yang berbunyi “Fakir Miskin dan Anak Terlantar dipelihara oleh Negara” dan telah dituangkan penjelasannya ke dalam UU no 13 tahun 2011 tentang Penanganan Fakir Miskin, sehingga semua penanganan telah memiliki dasar hukum dan legalitas yang kuat. Sayangnya, fakta di lapangan menunjukkan bahwa penanganan keberadaan pengemis ini masih memiliki kendala dan tingkat keefektifan yang rendah. Solusi yang biasa ditawarkan adalah penertiban pengemis oleh petugas Satpol PP dan dibawa ke tempat rehabilitasi untuk diberikan pengarahan dan penyuluhan, lalu dilepaskan dengan harapan para pengemis berhenti meminta-minta dan berusaha untuk mencari pekerjaan yang lebih layak. Solusi ini pun sebenarnya kurang baik mengingat setelah dilepas dari tempat rehabilitasi, para pengemis tetap saja tidak sadar dan terus menjalankan aksinya.
                Ada beberapa solusi yang dapat diberikan untuk menangani kasus ini, baik solusi yang sudah ada dan dapat ditingkatkan, maupun solusi yang belum ada namun dapat dikembangkan, antara lain
1.       Pemberian penyuluhan berupa modal awal, soft skill dan hard skill
2.       Mendirikan sekolah gratis untuk para pengemis
3.       Melaksanakan program transmigrasi bagi para pengemis
4.       Perusahan memperkerjakan para pengemis menjadi OB atau karyawan yang cukup membutuhkan kemampuan yang dapat diperoleh sehari-hari

          Solusi pertama adalah pemberian penyuluhan berupa modal awal, soft skill dan hard skill. Ibaratnya, pemerintah memberikan umpan bagi para pengemis dan merekalah yang memancing umpan tersebut. Contoh pelaksanaan solusi ini adalah memberikan modal berupa gerobak nasi goreng beserta alat dan bahannya serta melatih para pengemis untuk membuat nasi goreng. Dengan demikian, para pengemis dapat memiliki dan mengembangkan usahanya sendiri sehingga dapat mengurangi jumlah keberadaan pengemis di Indonesia.
Solusi kedua adalah mendirikan sekolah gratis untuk para pengemis. Solusi ini ditujukan kepada anak-anak yang sejak awal memang tidak mampu untuk bersekolah sehingga menjadi pengemis ataupun yang sejak awal sudah dididik oleh orang tuanya untuk menjadi pengemis. Pemerintah dapat menganggarkan pendirian sekolah gratis untuk para pengemis ini mengingat anggaran pendidikan pemerintah juga sangat besar. Pihak sekolah dapat menerima semua pengemis yang ingin mengenyam bangku sekolah ataupun memberikan beberapa syarat syarat tertentu yang tentunya tidak memberatkan mereka. Biaya sekolah pun harus digratiskan agar tidak membebankan para pengemis, karena biaya inilah yang menjadi momok bagi mereka untuk merasakan pendidikan formal. Keberadaan sekolah ini pun dapat meningkatkan taraf kualitas sumber daya manusia Indonesia karena dapat mendidik para pengemis menjadi lebih baik dan memiliki keinginan untuk memulai usahanya sendiri.
         
           Solusi ketiga adalah melaksanakan program transmigrasi bagi para pengemis. Program transmigrasi ini sebenarnya sudah ada sejak zaman Belanda yang kemudian diteruskan oleh pemerintah Indonesia hingga saat ini, dengan tingkat kesuksesan yang beragam pula. Program ini juga sudah memiliki kekuatan hukum yang sah berupa UU No 15 Tahun 1997 tentang Ketransmigrasian. Para pengemis akan didata dan dikumpulkan untuk diberikan pelatihan berupa skill-skill yang digunakan untuk memulai hidup di daerah baru. Daerah baru yang akan menjadi lokasi transmigrasi pun harus disurvei terlebih dahulu apakah layak untuk dihuni dan memiliki potensi untuk dikembangkan dengan tingkat kesuksesan yang tinggi. Tugas para pengemis yang telah ditransmigrasi ini adalah mengembangkan daerah yang mereka huni ini. Untuk menjamin kesuksesan program ini, Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi dapat mendirikan lembaga di daerah tersebut untuk mengawasi dan segera menangani kendala yang bisa saja muncul setiap saat. Hasil sumber daya alam yang diolah para pengemis langsung didistribusikan oleh lembaga tersebut dengan keuntungan yang dapat dibagi menurut aturan yang telah disepakati bersama. Lembaga, Depnakertrans dan Pemerintah harus dengan sigap menangani dan memberikan perhatian khusus untuk menjamin keberhasilan program ini.
               Solusi keempat adalah perekrutan pengemis oleh perusahaan menjadi Office Boy atau karyawan yang cukup membutuhkan kemampuan yang dapat diperoleh sehari-hari. Saat ini, banyak perusahan yang mewajibkan OB memiliki ijazah SMA, meskipun sebenarnya pekerjaan tersebut hanyalah membersihkan kantor, membuat minuman, dan pekerjaan yang merupakan keahlian sehari-hari. Faktanya, ijazah SMA sendiri disyaratkan hanya sebagai pengakuan atas hasil yang diperoleh selama bersekolah, sehingga bukanlah sebuah syarat utama. Perusahaan dapat merekrut pengemis untuk menjadi OB, bukan asal rekrut namun tetap mengadakan seleksi dan memberikan pelatihan bagi mereka agar dapat bekerja dengan baik di perusahaan tersebut.
             Dari keempat solusi di atas, solusi terbaik untuk saat ini adalah solusi ketiga, yaitu transmigrasi pengemis. Solusi ini dipilih mengingat kondisi perekonomian Indonesia masih kurang baik. Solusi ini pun sudah didukung dengan kekuatan hukum yang kuat, sehingga tidak ada lagi alas an untuk mempersulit kelancaran program ini di tengah-tengah birokrasi Indonesia yang juga sedang terpuruk dan terkadang sering membelitkan solusi-solusi yang efektif. Diharapkan dengan dikembangkannya solusi ketiga ini, keberadaan pengemis dapat berkurang sehingga meningkatkan kualitas masyarakat Indonesia dan memajukan Indonesia ke arah yang lebih baik dari saat ini.

Kelompok III
- Aliyah Alfianda
- Khalief Budi Indarawan
- Rivan Tristyanto
- Salma Nur Vita Anggraini

Tidak ada komentar:

Posting Komentar