Sebenarnya,
pemerintah Indonesia sudah menjamin kehidupan para pengemis yang dapat
digolongkan ke dalam fakir miskin dalam pasal 34 ayat (1) yang berbunyi “Fakir
Miskin dan Anak Terlantar dipelihara oleh Negara” dan telah dituangkan
penjelasannya ke dalam UU no 13 tahun 2011 tentang Penanganan Fakir Miskin,
sehingga semua penanganan telah memiliki dasar hukum dan legalitas yang kuat.
Sayangnya, fakta di lapangan menunjukkan bahwa penanganan keberadaan pengemis
ini masih memiliki kendala dan tingkat keefektifan yang rendah. Solusi yang
biasa ditawarkan adalah penertiban pengemis oleh petugas Satpol PP dan dibawa
ke tempat rehabilitasi untuk diberikan pengarahan dan penyuluhan, lalu
dilepaskan dengan harapan para pengemis berhenti meminta-minta dan berusaha untuk
mencari pekerjaan yang lebih layak. Solusi ini pun sebenarnya kurang baik
mengingat setelah dilepas dari tempat rehabilitasi, para pengemis tetap saja
tidak sadar dan terus menjalankan aksinya.
Ada
beberapa solusi yang dapat diberikan untuk menangani kasus ini, baik solusi
yang sudah ada dan dapat ditingkatkan, maupun solusi yang belum ada namun dapat
dikembangkan, antara lain
1. Pemberian penyuluhan berupa modal
awal, soft skill dan hard skill
2. Mendirikan sekolah gratis untuk para
pengemis
3. Melaksanakan program transmigrasi
bagi para pengemis
4. Perusahan memperkerjakan para
pengemis menjadi OB atau karyawan yang cukup membutuhkan kemampuan yang dapat
diperoleh sehari-hari
Solusi pertama adalah pemberian penyuluhan
berupa modal awal, soft skill dan hard skill. Ibaratnya, pemerintah
memberikan umpan bagi para pengemis dan merekalah yang memancing umpan
tersebut. Contoh pelaksanaan solusi ini adalah memberikan modal berupa gerobak
nasi goreng beserta alat dan bahannya serta melatih para pengemis untuk membuat
nasi goreng. Dengan demikian, para pengemis dapat memiliki dan mengembangkan
usahanya sendiri sehingga dapat mengurangi jumlah keberadaan pengemis di
Indonesia.
Solusi kedua adalah mendirikan sekolah gratis
untuk para pengemis. Solusi ini ditujukan kepada anak-anak yang sejak awal
memang tidak mampu untuk bersekolah sehingga menjadi pengemis ataupun yang
sejak awal sudah dididik oleh orang tuanya untuk menjadi pengemis. Pemerintah
dapat menganggarkan pendirian sekolah gratis untuk para pengemis ini mengingat
anggaran pendidikan pemerintah juga sangat besar. Pihak sekolah dapat menerima
semua pengemis yang ingin mengenyam bangku sekolah ataupun memberikan beberapa
syarat syarat tertentu yang tentunya tidak memberatkan mereka. Biaya sekolah
pun harus digratiskan agar tidak membebankan para pengemis, karena biaya inilah
yang menjadi momok bagi mereka untuk merasakan pendidikan formal. Keberadaan
sekolah ini pun dapat meningkatkan taraf kualitas sumber daya manusia Indonesia
karena dapat mendidik para pengemis menjadi lebih baik dan memiliki keinginan
untuk memulai usahanya sendiri.
Solusi ketiga adalah melaksanakan program
transmigrasi bagi para pengemis. Program transmigrasi ini sebenarnya sudah ada
sejak zaman Belanda yang kemudian diteruskan oleh pemerintah Indonesia hingga
saat ini, dengan tingkat kesuksesan yang beragam pula. Program ini juga sudah
memiliki kekuatan hukum yang sah berupa UU
No 15 Tahun 1997 tentang Ketransmigrasian. Para pengemis akan didata dan dikumpulkan untuk
diberikan pelatihan berupa skill-skill yang
digunakan untuk memulai hidup di daerah baru. Daerah baru yang akan menjadi
lokasi transmigrasi pun harus disurvei terlebih dahulu apakah layak untuk
dihuni dan memiliki potensi untuk dikembangkan dengan tingkat kesuksesan yang
tinggi. Tugas para pengemis yang telah ditransmigrasi ini adalah mengembangkan
daerah yang mereka huni ini. Untuk menjamin kesuksesan program ini, Departemen
Tenaga Kerja dan Transmigrasi dapat mendirikan lembaga di daerah tersebut untuk
mengawasi dan segera menangani kendala yang bisa saja muncul setiap saat. Hasil
sumber daya alam yang diolah para pengemis langsung didistribusikan oleh
lembaga tersebut dengan keuntungan yang dapat dibagi menurut aturan yang telah
disepakati bersama. Lembaga, Depnakertrans dan Pemerintah harus dengan sigap
menangani dan memberikan perhatian khusus untuk menjamin keberhasilan program
ini.
Solusi keempat adalah perekrutan pengemis oleh perusahaan menjadi
Office Boy atau karyawan yang cukup
membutuhkan kemampuan yang dapat diperoleh sehari-hari. Saat ini, banyak
perusahan yang mewajibkan OB memiliki
ijazah SMA, meskipun sebenarnya pekerjaan tersebut hanyalah membersihkan
kantor, membuat minuman, dan pekerjaan yang merupakan keahlian sehari-hari. Faktanya,
ijazah SMA sendiri disyaratkan hanya sebagai pengakuan atas hasil yang
diperoleh selama bersekolah, sehingga bukanlah sebuah syarat utama. Perusahaan
dapat merekrut pengemis untuk menjadi OB, bukan asal rekrut namun tetap
mengadakan seleksi dan memberikan pelatihan bagi mereka agar dapat bekerja
dengan baik di perusahaan tersebut.
Dari keempat solusi di atas, solusi terbaik
untuk saat ini adalah solusi ketiga, yaitu transmigrasi pengemis. Solusi ini
dipilih mengingat kondisi perekonomian Indonesia masih kurang baik. Solusi ini
pun sudah didukung dengan kekuatan hukum yang kuat, sehingga tidak ada lagi alas
an untuk mempersulit kelancaran program ini di tengah-tengah birokrasi
Indonesia yang juga sedang terpuruk dan terkadang sering membelitkan
solusi-solusi yang efektif. Diharapkan dengan dikembangkannya solusi ketiga
ini, keberadaan pengemis dapat berkurang sehingga meningkatkan kualitas
masyarakat Indonesia dan memajukan Indonesia ke arah yang lebih baik dari saat
ini.
Kelompok III
- Aliyah Alfianda
- Khalief Budi Indarawan
- Rivan Tristyanto
- Salma Nur Vita Anggraini
Tidak ada komentar:
Posting Komentar